Kamis, 19 Maret 2009

Profesi Keguruan

Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pekerjaan Profesi

Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ciri-ciri profesi, yaitu adanya:

  1. standar unjuk kerja;

  2. lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas akademik yang bertanggung jawab;

  3. organisasi profesi;

  4. etika dan kode etik profesi;

  5. sistem imbalan;

  6. pengakuan masyarakat.

Profesi Keguruan

Pada dasarnya profesi guru adalah profesi yang sedang tumbuh. Walaupun ada yang berpendapat bahwa guru adalah jabatan semiprofesional, namun sebenarnya lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan karena jabatan guru hanya dapat diperoleh pada lembaga pendidikan yang lulusannya menyiapkan tenaga guru, adanya organisasi profesi, kode etik dan ada aturan tentang jabatan fungsional guru (SK Menpan No. 26/1989).

Usaha profesionalisasi merupakan hal yang tidak perlu ditawar-tawar lagi karena uniknya profesi guru. Profesi guru harus memiliki berbagai kompetensi seperti kompetensi profesional, personal dan sosial.


Ciri-ciri Profesi Keguruan

Ciri-ciri jabatan guru adalah sebagai berikut.

  1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.

  2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.

  3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).

  4. Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.

  5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.

  6. Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.

  7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.

  8. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.


Latar Belakang Profesi Keguruan

Jabatan guru dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan tenaga guru. Kebutuhan ini meningkat dengan adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan calon guru untuk menghasilkan guru yang profesional. Pada masa sekarang ini LPTK menjadi satu-satunya lembaga yang menghasilkan guru. Walaupun jabatan profesi guru belum dikatakan penuh, namun kondisi ini semakin membaik dengan peningkatan penghasilan guru, pengakuan profesi guru, organisasi profesi yang semakin baik, dan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru sehingga ada sertifikasi guru melalui Akta Mengajar. Organisasi profesi berfungsi untuk menyatukan gerak langkah anggota profesi dan untuk meningkatkan profesionalitas para anggotanya. Setelah PGRI yang menjadi satu-satunya organisasi profesi guru di Indonesia, kemudian berkembang pula organisasi guru sejenis (MGMP).


Ruang Lingkup Profesi Keguruan

Ruang lingkup layanan guru dalam melaksanakan profesinya, yaitu terdiri atas (1) layanan administrasi pendidikan; (2) layanan instruksional; dan (3) layanan bantuan, yang ketiganya berupaya untuk meningkatkan perkembangan siswa secara optimal.

Ruang lingkup profesi guru dapat pula dibagi ke dalam dua gugus yaitu gugus pengetahuan dan penguasaan teknik dasar profesional dan gugus kemampuan profesional.

Kompetensi Kepribadian

Kompetensi kepribadian merupakan sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan pribadi dengan segala karakteristik yang mendukung terhadap pelaksanaan tugas guru.
Beberapa kompetensi kepribadian guru antara lain sebagai berikut.

  1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

  2. Percaya kepada diri sendiri.

  3. Tenggang rasa dan toleran.

  4. Bersikap terbuka dan demokratis.

  5. Sabar dalam menjalani profesi keguruannya.

  6. Mengembangkan diri bagi kemajuan profesinya.

  7. Memahami tujuan pendidikan.

  8. Mampu menjalin hubungan insani.

  9. Memahami kelebihan dan kekurangan diri.

  10. Kreatif dan inovatif dalam berkarya.


Kompetensi Sosial Guru

Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Peran yang dibawa guru dalam masyarakat berbeda dengan profesi lain. Oleh karena itu, perhatian yang diberikan masyarakat terhadap guru pun berbeda dan ada kekhususan terutama adanya tuntutan untuk menjadi pelopor pembangunan di daerah tempat guru tinggal.

Beberapa kompetensi sosial yang perlu dimiliki guru, antara lain berikut ini.

  1. Terampil berkomunikasi dengan peserta didik dan orang tua Peserta didik.

  2. Bersikap simpatik.

  3. Dapat bekerja sama dengan BP3.

  4. Pandai bergaul dengan Kawan sekerja dan Mitra Pendidikan.

  5. Memahami Dunia sekitarnya (Lingkungan).


Komponen-komponen Kompetensi Profesional

Kompetensi Profesional guru adalah sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan profesi yang menuntut berbagai keahlian di bidang pendidikan atau keguruan. Kompetensi profesional merupakan kemampuan dasar guru dalam pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, bidang studi yang dibinanya, sikap yang tepat tentang lingkungan PBM dan mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar.

Beberapa komponen kompetensi profesional guru adalah berikut ini.

  1. Penguasaan Bahan Pelajaran Beserta konsep-konsep.

  2. Pengelolaan program belajar-mengajar.

  3. Pengelolaan kelas.

  4. Pengelolaan dan penggunaan media serta sumber belajar.

  5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan.

  6. Kemampuan menilai prestasi belajar-mengajar.

  7. Memahami prinsip-prinsip pengelolaan lembaga dan program pendidikan di sekolah.

  8. Menguasai metode berpikir.

  9. Meningkatkan kemampuan dan menjalankan misi profesional.

  10. Memberikan bantuan dan bimbingan kepada peserta didik.

  11. Memiliki wawasan tentang penelitian pendidikan.

  12. Mampu menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.

  13. Mampu memahami karakteristik peserta didik.

  14. Mampu menyelenggarakan Administrasi Sekolah.

  15. Memiliki wawasan tentang inovasi pendidikan.

  16. Berani mengambil keputusan.

  17. Memahami kurikulum dan perkembangannya.

  18. Mampu bekerja berencana dan terprogram.

  19. Mampu menggunakan waktu secara tepat.


Hubungan antara Penguasaan Materi dan Kemampuan Mengajar

Penguasaan Materi menjadi landasan pokok seorang guru untuk memiliki kemampuan mengajar. Penguasaan materi seorang guru dilakukan dengan cara membaca buku-bulu pelajaran. Kemampuan penguasaan materi mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan mengajar guru, semakin dalam penguasaan seorang guru dalam materi/bahan ajar maka dalam mengajar akan lebih berhasil jika ditopang oleh kemampuannya dalam menggunakan metode mengajar.

Penguasaan bahan ajar dapat diawali dengan mengetahui isi materi dan cara melakukan pendekatan terhadap materi ajar.

Guru yang menguasai bahan ajar akan lebih yakin di dalam mengajarkan materi, senantiasa kreatif dan inovatif dalam metode penyampaiannya.


Keputusan Situasional dan Transaksional

Keputusan situasional menyangkut keputusan tentang apa dan bagaimana pengajaran akan diwujudkan berdasarkan analisis situasi (tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disampaikan, waktu serta fasilitas yang tersedia dan perilaku bawaan siswa).

Keputusan situasional diambil guru ketika menyusun persiapan tertulis dalam bentuk satuan pelajaran (satpel).

Keputusan transaksional merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh guru yang berkaitan dengan pelaksanaan dari keputusan situasional berdasarkan balikan yang diperoleh guru dari interaksinya dengan siswa maupun dari interaksi antar siswa dalam PBM yang sedang berlangsung.

Keputusan transaksional diambil karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dalam melaksanakan PBM.

Peran Guru dalam Pengembangan Rancangan Pembelajaran

Proses pembelajaran merupakan proses inkuiri dan reflektif, yang menekankan pentingnya pengalaman dan penghayatan guru terhadap proses itu. Rancangan pembelajaran harus dikembangkan atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang berorientasi kepada perkembangan siswa. Perkembangan adalah tujuan pembelajaran. Rancangan pembelajaran baik rancangan jangka pendek maupun jangka panjang mencakup komponen-komponen: (a) Analisis kurikulum, (b) tujuan instruksional, (c) rencana kegiatan, (d) rencana evaluasi.


Peran Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran dan Manajemen Kelas

  1. Pembelajaran yang efektif terwujud dalam perubahan perilaku peserta didik baik sebagai dampak instruksional maupun dampak pengiring. Proses pembelajaran berlangsung dalam suatu adegan yang perlu ditata dan dikelola menjadi suatu lingkungan atau kondisi belajar yang kondusif.

  2. Pendekatan pluralistik dalam manajemen kelas memadukan berbagai pendekatan, dan memandang manajemen kelas sebagai seperangkat kegiatan untuk mengembangkan dan memelihara lingkungan belajar yang efektif.

  3. Masalah pengajaran dan manajemen kelas adalah dua hal yang dapat dibedakan tetapi sulit dipisahkan. Keduanya saling terkait; manajemen kelas merupakan prasyarat bagi berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif.

  4. Lingkungan belajar dikembangkan dan dipelihara dengan memperhatikan faktor keragaman dan perkembangan peserta didik. Manajemen kelas dikembangkan melalui tahap-tahap: perumusan kondisi ideal, analisis kesenjangan, pemilihan strategi, dan penilaian efektivitas strategi.

  5. Penataan lingkungan fisik kelas merupakan unsur penting dalam manajemen kelas karena memberikan pengaruh kepada perilaku guru dan peserta didik


Peran Guru dalam Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi adalah proses memperoleh informasi untuk membentuk judgment dalam pengambilan keputusan. Informasi yang diperlukan untuk kepentingan evaluasi dijaring dengan teknik-teknik inkuiri, observasi, analisis, tes. Pemilihan teknik yang digunakan didasarkan atas jenis informasi yang harus diungkap sehingga dalam suatu evaluasi bisa digunakan berbagai teknik sekaligus. Pengolahan hasil pengukuran atas hasil belajar dimaksudkan untuk mengevaluasi proses dan hasil belajar


Peran Guru dalam Memahami Perkembangan Siswa sebagai Dasar Pembelajaran

Selagi pembelajaran merupakan proses pengembangan pribadi siswa maka perkembangan siswa harus menjadi dasar bagi pembelajaran. Aspek-aspek perkembangan siswa yang mencakup perkembangan fisik dan motorik, kognitif, pribadi, dan sosial mempunyai implikasi penting bagi proses pembelajaran. Implikasi itu menyangkut pengembangan isi dan strategi pembelajaran, dan kerja sama sekolah dengan orang tua.

Pengertian dan Tujuan Bimbingan dan Konseling

  1. Bimbingan dapat diartikan sebagai “proses membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal”.

  2. Konseling diartikan sebagai “proses membantu individu (klien) secara perorangan dalam situasi hubungan tatap muka, dalam rangka mengembangkan diri atau memecahkan masalah yang dihadapinya”.

  3. Konseling merupakan salah satu jenis layanan bimbingan, yang dipandang inti dari keseluruhan layanan bimbingan.

  4. Bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu atau peserta didik agar dapat mengembangkan kepribadiannya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, intelektual, emosional, sosial maupun moral-spiritual.


Fungsi, Asas, dan Prinsip Bimbingan

  1. Sebagai proses pemberian bantuan kepada individu (siswa), bimbingan berfungsi sebagai upaya (a) pemahaman,(b) pencegahan, (c) pengembangan, dan (d) perbaikan.

  2. Bimbingan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip (a) individu atau peserta didik sedang berada dalam proses berkembang, (b) sasaran bimbingan adalah semua peserta didik, (c) mempedulikan semua aspek perkembangan, (d) kemampuan peserta didik merupakan dasar bagi penentuan pilihan, (e) bimbingan merupakan bagian terpadu pendidikan, dan (f) bantuan yang diberikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan peserta didik merealisasikan dirinya.

  3. Penyelenggaraan bimbingan yang profesional harus mempedulikan asas-asas, seperti kerahasiaan, keterbukaan, keahlian, kedinamisan, dan tut wuri handayani.

Bidang dan Jenis-jenis Layanan Bimbingan

  1. Penyelenggaraan bimbingan itu, meliputi bidang-bidang pribadi, sosial, akademik, dan karier.

  2. Jenis-jenis layanan bimbingan, meliputi orientasi, informasi, pembelajaran, bimbingan kelompok, penempatan dan penyaluran, konseling perorangan, dan konseling kelompok

Hubungan Bimbingan dengan Pendidikan

Pendidikan akan terselenggara dengan baik, apabila ditunjang oleh komponen-komponennya yang meliputi bidang kepemimpinan atau administrasi, pengajaran, dan layanan pribadi siswa atau bimbingan. Melalui bimbingan, proses pendidikan dapat memfasilitasi berkembangnya aspek-aspek atau karakteristik pribadi siswa secara optimal.

Peran Kepembimbingan Guru dalam Pembelajaran di Sekolah

Sesuai dengan sifat dan karakteristik perkembangan anak sekolah, bimbingan dan konseling di sekolah lebih efektif menjadi bagian terpadu dari tugas guru BP. Bimbingan di sekolah dilaksanakan secara terpadu dalam proses pembelajaran, kecuali hal-hal yang memerlukan penanganan khusus.

Dalam proses pembelajaran di sekolah guru perlu menampilkan peran kepemimpinan dengan jalan menciptakan iklim atau suasana pembelajaran yang bermuatan/bernuansa bimbingan. Dalam proses pembelajaran itu guru berperan tidak hanya sebatas menyampaikan bahan ajar, tetapi sekaligus mengembangkan perilaku-perilaku efektif baik yang berkenaan dengan perilaku belajar, pribadi, sosial maupun karir.

Membantu Siswa Bermasalah

Masalah yang dihadapi siswa dapat dibedakan ke dalam masalah belajar dan masalah bukan belajar. Akan tetapi biasanya masalah tersebut bermuara menjadi kesulitan belajar. Kesulitan belajar siswa dapat diidentifikasi dengan melakukan tes hasil belajar, tes kemampuan dasar, pengamatan kebiasaan belajar.

Faktor-faktor yang menimbulkan kesulitan belajar bisa digolongkan ke dalam faktor eksternal dan internal. Ada beberapa teknik membantu siswa yang kesulitan belajar, yaitu (1) pengajaran perbaikan, (2) pengayaan, (3) peningkatan motivasi belajar, (4) peningkatan keterampilan belajar, (5) pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif.


Pengembangan Program Bimbingan di Sekolah

Ada 4 komponen inti dalam program bimbingan, yaitu (1) Layanan dasar umum, (2) Layanan responsif, (3) Layanan perencanaan individual, dan (4) Pendukung sistem. Layanan dasar umum adalah layanan yang diarahkan untuk membantu seluruh murid mengembangkan perilaku-perilaku yang harus dikuasai untuk jangka panjang. Layanan responsif adalah layanan membantu murid mengatasi masalah atau mengembangkan perilaku yang menjadi kebutuhan pada saat ini dan harus segera dilayani. Layanan perencanaan individual diarahkan untuk membantu murid merencanakan pendidikan, karir dan pengembangan pribadi.

Selasa, 17 Maret 2009

Mutu Pendidikan Ditentukan Mutu Pelajaran, Siswa, Pengajar

Makassar (ANTARA News) - Mutu pendidikan di Kota Makassar Sulsel yang anjlok pada tahun ajaran 2007/2008 dengan tingkat kelulusan hanya sekitar 30 persen disebabkan karena lebih mengejar pembangunan fisik dari pada kualitas pendidikan yang sesungguhnya.

"Sebenarnya banyak program unggulan yang dibuat dan dicanangkan oleh Pemkot Makassar, namun implementasinya tidak sampai pada dasar melainkan hanya dipermukaan saja," kata Syamsu Niang, Ketua Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru Indonesia (FK PAGI) Sulsel di Makassar, Sabtu.

Program unggulan itu, seperti pembebasan biaya pendidikan siswa SD dan SMP, rehabilitasi gedung sekolah dan sebagainya. Namun itu semua tidak cukup, karena untuk meningkatkan kualitas pendidikan bukan hanya terbebas dari biaya sekolah, tetapi harus mendapatkan mutu pelajaran yang baik dari tenaga pengajar yang berkualitas, ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, tingkat kedisiplinan dan ketekunan siswa di kota ini juga harus dievaluasi. Pasalnya, dari informasi yang berkembang di lapangan diketahui, dari 5.639 siswa SMP dan sederajat (30,10 persen) yang tidak lulus dari jumlah peserta UN 18.734 orang, ketidaklulusan itu terjadi, karena umumnya siswa SMP ceroboh dalam mengisi lembar jawaban.

"Semestinya, pihak sekolah jangan hanya memberikan "try out" UN sekali atau dua kali sebelum UN diselengggarakan. Karena untuk dapat mengisi lembar jawaban bagi yang teliti mungkin cukup satu kali melakukan try out, tapi yang sembrono butuh latihan beberapa kali," ungkap Syamsu yang juga anggota DPRD Kota Makassar ini.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Sulsel Patabai Pabokori mengemukakan, dalam 10 tahun terakhir memang Kota Makassar semakin terbelakang kuantitas kelulusannya dibandingkan daerah lainnya seperti Palopo dan Luwu. Padahal dari segi sarana dan akses informasi siswa di Makassar jauh lebih baik dibanding di daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, pihaknya mengimbau agar semua pihak terakit dapat mengevaluasi fenomena ini, agar pada tahun ajaran berikutnya kualitas dan kuantitas kelulusan siswa dapat lebih baik dari tahun sebelumnya.

"Meski harus diakui, kalau dari segi kualitas orang per orang, sebenarnya Makassar masih unggul, namun kualitas pendidikan itu kan dinilai secara kolektif atau keseluruhan, bukan orang per orang saja," tandasnya.(*)

Hakikat Desentralisasi Model MBS

Oleh Nurkolis

Sejak digulirkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku 1 Januari 2001, wacana desentralisasi pemerintahan ramai dikaji. Pendidikan termasuk bidang yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan yaitu masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen, dapat terpecahkan. Cukupkah desentralisasi pendidikan pada tingkat pemerintah kota/kabupaten? Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten. Desentralisasi pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan yang sesungguhnya harus sampai pada tingkat sekolah secara individual.

Mengapa perlu desentralisasi pendidikan? Berbagai studi tentang desentalisasi menunjukkan bahwa pekerjaan yang bersifat kompleks, dikerjakan dalam tim, mengandung unsur ketidakpastian, dan berada dalam lingkungan yang cepat berubah tidak bisa dikelola secara sentralistik. Pendidikan dan secara khusus lagi sekolah yang selama ini dikelola secara sentralistik justru menimbulkan banyak masalah. Maka sekolah yang memiliki karakteristik seperti itu harus didesentralisasikan. Salah satu model desentralisasi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).

Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang cocok dengan kondisi negeri ini. Namun jarang sekali yang menyinggung masalah isi (content) yang tak lain merupakan hakikat desentralisasi itu sendiri. Hakikat desentralisasi pendidikan adalah “apa dan kepada siapa” (what and to whom) dan bukan aturan-aturannya (regulation).

Reformasi pendidikan di banyak negara dimulai pada dekade 1980-an. Banyak sekolah di Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang berhasil menerapkan desentralisasi pendidikan dengan model MBS. Malalui MBS sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah.

Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan murid.

Hakikat Desentralisasi

Menurut Wohlstetter dan Mohrman (1993) terdapat empat sumber daya yang harus didesentralisasikan yaitu power/authority, knowledge, information dan reward. Pertama, kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget, personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan dan pemperhentian kepala sekolah, guru dan staff sekolah.

Kedua, pengetahuan (knowledge) juga harus didesentralisasikan sehingga sumberdaya manusia di sekolah mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi kinerja sekolah. Pengetahuan yang perlu didesentralisasikan meliputi : keterampilan yang terkait dengan pekerjaan secara langsung (job skills), keterampilan kelompok (teamwork skills) dan pengetahuan keorganisasian (organizational knowledge). Keterampilan kelompok diantaranya adalah pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterampilan berkomunikasi. Termasuk dalam pengetahuan keorganisasian adalah pemahaman lingkungan dan strategi merespon perubahan.

Ketiga, hakikat lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder. Apa yang perlu disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.

Keempat, pengaharhaan (reward) adalah hal penting lainnya yang harus didesentralisasikan. Penghargaan bisa berupa fisik maupun non-fisik yang semuanya didasarkan atas prestasi kerja. Penghargaan fisik bisa berupa pemberian hadiah seperti uang. Penghargaan non-fisik berupa kenaikan pangkat, melanjutkan pendidikan, mengikuti seminar atau konferensi dan penataran.

Dengan mendesentralisasikan empat bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik.

Mutu Tenaga Pengajar Rendah

BOYOLALI (Joglosemar): Permasalahan pokok dari lembaga pendidikan dan keagamaan adalah rendahnya mutu tenaga pengajar, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya manajemen, serta keterbatasan dana operasional dan dana pengembangan.

Hal itu diungkapkan Menteri Agama (Menag), Maftuh Basyuni dalam pidato tertulis yang dibacakan Bupati Boyolali, Sri Moeljanto di depan peserta upacara peringatan Hari Amal Bakti (HAB) di Stadion Pandan Arang, akhir pekan lalu.
Lebih lanjut dijelaskan Menag, pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Departemen Agama dari tahun ke tahun.
”Sebagai wujud gambaran anggaran pendidikan Departemen Agama di luar gaji pendidik dan tenaga kependidikan pada tahun 2005 mencapai Rp 3.284.974.469.000 dan pada tahun 2009 direncanakan meningkat tajam menjadi Rp 14.888.897.005.000.”
Kendati demikian jumlah tersebut masih dinilai jauh dari jumlah ideal yang diharapkan. Dengan jumlah anggaran yang terbatas, lanjut dia, semua jajaran di lingkungan Depag harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara siginifikan mampu memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan.
Anggaran yang terbatas, kata dia, justru menjadi tantangan agar lingkungan Depag lebih cerdas dan inovatif untuk menentukan program dan kegiatan yang tepat sasaran.
”Sudah barang tentu, kita akan menghadapi banyak dilema di lapangan seperti apakah alokasi anggaran lebih berbasis pada pemerataan atau peningkatan kualitas pendidikan,” terang dia.
Pilihan pertama, sambung dia, mengandung risiko terhadap lambatnya peningkatan kualitas pendidikan yang menjadi masalah utama pendidikan agama dan keagamaan.
Sedangkan pilihan kedua memerlukan kemampuan untuk meningkatkan skala prioritas dengan sejumlah kriteria yang jelas. ”Pilihan ini juga harus dapat memberikan inspirasi dan motivasi agar penyelenggara pendidikan dapat lebih mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar,” tandasnya. (mas)

Kabupaten Diminta Aktif Perbaiki Gedung Sekolah

Pemerintah kabupaten dan kota diminta untuk memprioritaskan pemeliharaan gedung sekolah dasar terkait dengan kenaikan anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009. “Pendidikan harus jadi prioritas, apalagi sekarang ini pendidikan menjadi jualan politik paling laku bagi para calon pemimpin daerah,” ungkap Mudjito, Direktur Pembinaan taman kanak-kanak dan sekolah dasar Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, kemarin. Dia menambahkan pemerintah pusat masih terlibat dalam penyaluran dana rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru melalui dana alokasi khusus (DAK). Namun, implementasi termasuk pemeliharaan bangunan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Pembiayaan melalui DAK disalurkan ke semua daerah untuk rehabilitasi ruang kelas diharapkan dapat merangsang partisipasi pemerintah daerah (pemda) memerhatikan kondisi pendidikan di daerahnya. “Saat ini jumlah kelas rusak mencapai 12,5% atau 135.000 ruang kelas, dan dana yang diperlukan mencapai Rp 9,1 triliun,” ujarnya, kemarin.

Penuntasan rehabilitasi ruang kelas SD/MI dengan dana DAK bidang pendidikan sampai 2008 berhasil dilaksanakan untuk 295.548 unit. Pemberlakuan otonomi daerah, sambungnya, pemda harus melakukan tindakan nyata untuk merehabilitasi ruang kelas. Jika dihitung dengan eskalasi harga saat ini, dana yang dibutuhkan bisa menjadi Rp 12,4 triliun.

Mudjito menjelaskan penuntasan rehabilitasi ruang kelas SD/MI rusak SD/MI dan sekolah setara SD berbasis keagamaan perlu segera diselesaikan untuk meningkatkan mutu, pemerataan kesempatan belajar, dan menunjang pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun.

Sesuai dengan pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertengahan Agustus, dengan dikucurkannya dana untuk rehabilitasi ruang kelas kewajiban pada tahun depan, pemda berkewajiban segera menyelesaikan rehabilitasi sisa ruang kelas rusak.Mudjito berharap upaya pemerintah pusat untuk memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi agar disikapi dengan sikap proaktif pemda untuk memprioritaskan kondisi pendidikan, khususnya terkait dengan infrastruktur sekolah.

“Dengan tersedianya biaya pendidikan yang signifikan sekitar 4,5% dari GDP maka kualitas SDM Indonesia dapat disejajarkan dengan negara-negara Asean,” ungkapnya. Mudjito mengharapkan agar kerusakan gedung-gedung sekolah di daerah tidak lagi dibiarkan berkembang menjadi isu nasional, apalagi jika pemerintah daerah bersikap apatis dengan membiarkan peserta didik menerima keterbatasan pelayanan pendidikan. (Hilda Sabri Sulistyo)

PERPUSTAKAAN SEBAGAI PUSAT PEMBELAJARAN DAN AGEN PERUBAHAN MASYARAKAT

Oleh : Prof. Dr. Fuad Hasan


(diluncurkan pada acara Seminar Perpustakaan Sebagai Agen Perubahan Sosial)
Naskah berikut ini tidak dimaksudkan sebagai makalah akademik mengenai perpustkaan, melainkan lebih sebagai suatu pusat pembelajaran (learning center). Dalam naskah ini tidak dibahas organisasi dan fungsi perpustakaan yang bersifat khusus, seperti perpustakaan yang melekan tapa penyelenggaraan berbagai jenjang pendidikan, perpustakaan nasional, perpustakaan wilayah, perpustakaan umum, perpustakaan asosiasi profesional dan perpustakaan yang bersifat spesialistik lainnya. Perhatian lebih ditujukan pada kemungkinan penyelenggaraan perpustakaan di berbagai daerah pemukiman, terutama yang warganya sangat membutuhkan sarana dan sumber belajar, bukan saja untuk berusaha meningkatkan taraf kecerdasannya, melainkan juga untuk memperbaiki mutu perikehidupannya.
Banyak kawasan yang sangat memerlukan dukungan perpustakaan untuk memperbaiki kualitas hidup warganya. Untuk keperluan itu tidak cukup hanya tersedia sekolah-sekolah yang menampung anak-anak usia sekolah, melainkan diperlukan juga tersedianya bahan pustaka yang efektif sebagai sumber belajar bagi populasinya yang tidak (lagi) bersekolah dan sebagai orang dewasa telah menjadi andalah pencari nafkah bagi keluarganya. Kita semua maklum bahwa ketertinggalan suatu masyarakat terutama disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: ketidaktahuan, kemiskinan, dan penyakit (ignorence, poverty and disease). Ketiga faktor berkaitan erat satu sama lain, dan dalam usaha untuk menaggulanginya biasanya diutamakan berbagai ikhtiar yang ditujukan pada teratasinya faktor ignorasi, seperti antara lain program pemberantasan butahuruf, disusul dengan penyelenggaraan sekolah-sekolah dan kursus-kursus. Berbagai ikhtiar tersebut ditujukan pada meningkatnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan warga masyarakat ybs; singkatnya, tindakan untuk mengatasi ketertinggalan sesuatu masyarakat biasanya dimulai dengan ikhtiar untuk meningkatkan kecerdasannya. Dengan meningkatnya kecerdasan masyarakat maka meluas pula cakrawala pandangan masyarakat yang bersangkutan.
Perpustakaan merupakan salah satu di antara sarana dan sumber belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli oleh peminatnya masing-masing. Tersedianya beraneka bahan pustaka memungkinkan tiap orang memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya, dan kalau warga masyarakat itu masing-masing menambah pengetahuannya melalui pustaka pilihannya, maka akhirnya merata pula peningkatan taraf kecerdasan masyarakat itu. Kalau kita sepakat bahwa perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh meningkatnya taraf kecerdasan warganya, maka kehadiran perpustakaan dalam suatu lingkungan kemasyarakatan niscaya turut berpengaruh terhadap teratasinya kondisi ketertinggalan masyarakat yang bersangkutan.
Kiranya tidak perlu diperbincangkan lagi bahwa ‘baca-tulis-hitung’ itu merupakan kemampuan dasar yang menjadi andalan bagi upaya peningkatan kecerdasan manusia. Bahkan lebih dari hanya meningkatkan kecerdasannya, kemampuan dasar t ersebut merupakan pendukung utama bagi perkembangan peradaban manusia. Sejarah mencatat, betapa peradaban manusia cenderung menjulang tatkala mendapat dukungan dari perkembangan tiga kemampuan dasar itu manusia memperluas cakrawala wawasannya dan seiring dengan itu juga semakin kaya dengan berbagai ikhtiar untu meningkatkan mutu perikehidupannya.
Sejarah peradaban pun telah membuktikan betapa besar pengaruh perubahan penguasaan ketiga kemampuan dasar itu terhadap perkembangan prestasi kecerdasan masyarakat yang bersangkutan. Daya ciptanya pun makin mencuat melalui penemuan hal-ihwal ‘baru’ yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan mutu perikehidupan warga masyarakat itu.
Demikianlah yang dapat kita saksikan manakala dalam suatu masyarakat terjadi peralihan dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Tradisi lisan sebagaimana terjadi dalam pengalihan dongeng, legenda, mitos, dan sebagainya dari satu generasi ke generasi tentu mengalami perubahan, bahkan mungkin perubahan yang distortif, karena bagaimanapun juga sesuatu periwayatan yang pengalihannya berlangsung dari mulut ke mulut tidak senantiasa terjamin sesuai dengan aslinya.
Lain halnya dengan periwayatan yang diteruskan sebagai tulisan dan dialihkan sebagai bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahan bacaan demikian itu merupakan rekaman yang jauh lebih menjamin dapat dipertahankanya keaslian muatanny. Tentu saja tulisan dan bahan bacaan juga bisa mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah; sesuatu naskah yang ditulis berdasarkan tradisi lisan bisa saja mengalami perubahan, apalagi kalau suatu periwayatan kemudian ditulis oleh beberapa orang penulis, sehingga terdapat beberapa varian atau versi mengenai ihwal yang diriwayatkan. Namun sekali naskah tertulis itu menemukan wujudnya, maka menetaplah jejaknya, terkecuali kalau rusak dimakan zaman.
Demikian pula halnya dengan agama-agama yang tergolong sebagai ‘ahli kitab’, yang sama artinya ‘keluarga atau kelompok yang memiliki kitab’, d.h.i. kitab suci. Sulit dibayangkan bagaimana sesuatu ajaran agama dapat dilanjutkan antar generasi tanpa pelestarian melalui kitab sucinya, melainkan sekedar diandalkan pada periwayatan lisan dari satu generasi penganutnya kepada generasi berikutnya. Tentu saja tulisan sebagai jejak yang ditinggalkan manusia dalam perjalanan waktu bisa berubah atau diubah. Akan tetapi dalam pengalihan antar generasi sebab musabab terjadinya perubahan pada rekaman berupa tulisan tentu berbeda dengan perubahan yang terjadi karena pengalihan penuturan secara lisan. Studi-studi folklore dan fiologi dapat lebih memperjelas faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya perubahan-perubahan termaksud.
Menarik sekali bahwa dalam bahasa Arab, kata benda kitab yang berarti buku, bertaut erat dengan kata kerja kataba yang artinya menulis. Maka buku yang bermuatan bacaan hanya mungkin terwujud jika ada yang menuliskan bahannya. Demikianlah kemampuan membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kemampuan ini bukan saja meliputi pengenalan huruf sebagai elemen untuk menyusun kata dan selanjutnya kata menjadi komponen untuk pembentukan kalimat, melainkan juga pengenalan angka sebagai lambang yang berkaitan dengan kemungkinan untuk melakukan kuantifikasi. Maka kemampuan ‘baca-tulis-hitung’ (yang dalam lingkungan pendidikan di sekolah terkenal sebagai the 3-RS, yaitu Reading, Writing, aRithmetic) sesungguhnya merupakan satu kemasan kemampuan yang selalu diajarkan pada anak sejak dini, karena penguasaan tiga kemampuan dasar itulah yang menjadi landasan bagi pengembangan pengetahuan selanjutnya.

Dalam perjalanan sejarah peradaban manusia dapat ditunjuk beberapa momen puncak yang dianggap sangat berpengaruh terhadap peri kehidupan manusia selanjutnya. Termasuk dalam momen puncak itu ialah ditemukannya sesuatu sistem perlambangan atau abjad untuk menuliskan segala ihwal yang dianggap perlu untuk dilestarikan agar selanjutnya dapat disajikan kepada khalayak pembaca (reading audience). Momen puncak lainnya ialah tatkala ditemukan teknik cetak serta penjilidan yang memungkinkan terbit dan beredarnya bacaan berupa buku. Sejak munculnya buku sebagainya himpunan tulisan yang bisa diperbanyak jumlahnya dan dapat diedarkan dalam lingkungan khalayak pembaca yang kian meluas, maka meningkat pula laju proses pencerdasan dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh peredaran buku masyarakat yang bersangkutan dimungkinkan untuk menimba himpunan informasi perihal apa saja yang tidak diketahui sebelumnya. Buku sebagai sumber informasi menjadikan seseorang tidak lagi tergantung pada penuturan seseorang secara lisan. Oleh makin banyaknya buku yang terbit dan beredar dalam suatu masyarakat, maka timbullah keperluan untuk penyimpanannya dalam sistem yang berbentuk perpustakaan. Kehadiran perpustakaan merupakan tuntutan mutlak bagi tiap masyarakat yang ingin menjadikan warganya bukan saja kaya informasi (well informed) dan terdidik baik (well educated), melainkan makin bertambah kecanggihan wawasannya (sophisticated).
Untuk berdampak sedemikian itu perpustakaan harus menyediakan bahan bacaan yang dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi khalayak pembaca dalam kawasannya. Perpustakaan tentu bukan saja merupakan ‘penggudangan buku’, melainkan menjadi tempat penyimpanan informasi, edukasi dan rekreasi. Ketiga kebutuhan ini dapat dilayani oleh perpustakaan yang menyesuaikan koleksinya dengan minat khalayak pembaca dalam kawasannya. Perpustakaan suatu jenjang pendidikan (school library, university library) tentu menyediakan buku dan bahan bacaan yang berbeda dengan apa yang disimpan oleh perpustakaan umum (public library); demikian juga perpustakaan suatu wilayah (provincial library) menyediakan bahan pustaka yang berbeda dengan apa yang tersedia dalam perpustakaan pedesaan (country library). Pendeknya, perpustakaan sebaiknya dirancang sesuai dengan minat dan kepentingan khalayak dalam kawasannya.
Keanekaan ciri daerha-daerah pemukiman di Indonesia denan sendirinya perlu diperhatikan dalam persebaran perpustakaan; masyarakat perkotaan tentu berbeda minatnya dengan masyarakat pedesaan, masyarakat desa pegunungan tentu berbeda perhatian dan minatnya dengan masyarakat desa pantai, dan begitu seterusnya. Maka manfaaat kehadiran perpustakaan dalam suatu daerah hunian perlu memperhatikan apa yang ingin diperoleh khalayak pembacanya sebagai sumber informasi, edukasi dan rekerasi. Dengan demikian perpustakaan akan tetap memiliki daya tarik untuk dikunjungi, dan dengan ramainya kunjungan ke perpustakaan itu berkembang pula dalam masyarakat yang bersangkutan sikap positif terhadap buku. Kehadiran perpustakaan bukan saja berrjasa dalam menumbuhkan minat baca melainkan juga cinta buku.
Maka adanya prakarsa untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang perlunya kehadiran perpustkaan dalam kawasannya. Banyaknkya kawasan hunian baru yang dibangun oleh para pengembang tidak selalu disertai pengadaan perpustakaan sebagai fasilitas umum. Jangankan di daerah hunian yang sederhana, di kawasan yang tergolong mewah pun perpustakaan sebagai fasilitas umum cenderung dilupakan penyediaannya. Jauh lebih ditonjolkan sebagai keistimewaan adalah adanya shopping mall dan berbagai fasilitas rekreasi ketimbang adanya perpustakaan yang bisa melayai minat para penghuninya.
Dalam hubungan ini perlu disusun perencanaan yang menetapkan mana kawasan pemukiman yang perlu diprioritaskan untuk pembangunan perpustakaan, misalnya kawasan yang penduduknya kurang mampu untuk menyediakan sendiri perpustakaan bagi warganya, seperti masyarakat di kota kecil atau daerah pedesaan. Untuk beberapa kawasan juga dapat dipertimbangkan sejauh mana efektifnya penyelenggaraan perpustakaan keliling (mobile library) yang secara berkala berkunjung ke kawasan pemukiman tertentu. Bahkan pada awal tahun 1990-an pernah dibahas gagasan untuk menyelenggarakan perpustakaan terapung (floating library) untuk berfungsi sebagai perpustakaan keliling di daerah kepulauan (seperti di kepulauan Riau dan Maluku) serta sepanjang sungai-sungai jalur lalulintas angkutan (seperti di Kalimantan).
Tentu saja berbagai kemungkinan tersebut sebaiknya didahului dengan mempelajari apa yang menjadi minat dan kepentingan masyarakat setempat, terutama yang berkenaan dengan usaha peningkatan kualitas kehidupan warganya. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan pula penyediaan bahan pustaka yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan warga masyarakat yang bersangkutan, teruatama buku-buku yang merupakan panduan ‘kerjakan sendiri’ (do it your self). Lebih baik lagi kalau buku panduan demikian itu dipulih sesuai dengan kepentingan warga masyarakat setempat untuk melakukan usaha yang dapat menambah sumber penghasilan (income generating) atau dapat membuka lapangan kerja (employment generating).
Selain buku-buku panduan ‘kerjakan sendiri’, tidak kalah pentingnya ialah buku-buku yang bersifat informatif dan edukatif mengenai kesehatan, kebersihan lingkungan hidup, bahaya pencemaran lingkungan, dan bahan bacaan lain yang bisa berdampak positif bagi terjadinya perubahan sikap dan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan terhadap berbagai permasalahan aktual.
Perlu dicatat, bahwa perpustakaan masakini tidak hanya memiliki koleksi buku-buku, melainkan juga berupa perangkat untuk penyajian bahan melalui CD, VCD, CD-ROM, dan sebagainya sejalan dengan perkembangan teknologi informasi. Demikian juga koleksi rekaman film tentang flora dan fauna, dokumentasi sejarah, kelautan, kehutanan, dan sebagainya. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, perpustakaan juga bisa berfungsi lebih dari sekedar tempat simpan pinjam bahan pustaka ditambah ruang baca belaka. Perpustakaan modern mestinya bisa berfungsi bagi penyelenggaraan berbagai forum penerangan dan pembahasan tentang masalah-masalah aktual, antara lain melalui penyelenggaraan diskusi panel, seminar, simposium, lokakarya, dan sebagainya. Perpustakaan juga dapat menyelenggarakan acara pameran buku, pemutaran film, perkenalan dengan pengarang dan sastrawan nasional maupun lokal. Melalui berbagai forum pembahasan itu niscaya dapat didorong perkembangan berbagai pemikiran mengenai masalah-masalah aktual yang diahadapi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kemungkinan swakelola perpustakaan oleh masyarakatnya sendiri perlu dipertimbangkan, agar kehadiran dan fungsinya tidak terus-menerus diandalkan pada dukungan sumber daya dari luar, misalnya dari kalangan bisnis dan industri. Namun demikian, dukungan tersebut sebaiknya ditujukan pada tumbuhnya kesanggupan swakelola perpustakaan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kecenderungan untuk menggantungkan eksistensi perpustakaan pada dukungan dari luar masyarakatnya perlu diubah dengan menyadarkan masyarakat yang bersangkutan untukpada suatu saat sanggup secara mandiri mengelola dan mempertahankan kehadiran perpustakaannya demi peningkatan kecerdasan serta mutu perikehidupan warganya. Swakelola perpustakaan bisa menjadi nyata apabila masyarakat yang bersangkutan menyadari betapa perpustakaan dapat menjadi sumber belajar dan pada gilirannya berperan sebagai agen perubahan bagi segenap warganya.
Maka perlu dipikirkan berbagai cara agar perpustakaan dapat dihadirkan di berbagai cara agar perpustakaan dapat dihadirkan di berbagai kawasan pemukiman, terutama yang relatif tertinggal kondisi peri kehidupan dan taraf kesejahteraan. Para pemuka masyarakat yang bersangkutan dapat berusaha menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri yang adakalanya menyisihkan sejumlah dana bagi pengembangan komunitas (community development). Bahan pustaka juga bisa diperoleh melalui kampanye pengumpulan sumbangan buku dan majalah dari perorangan maupun lembaga swadaya masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan tersedianya bahan pustaka dan dokumentasai yang dapat dikumpulkan dari berbagai instansi, terutama bahan bacaan yang bersifat penyuluhan. Dalam kerjasama dengan sekolah-sekolah dapat juga diusahakan pembuatan clipping dari media cetak oleh para pelajar sebagai pekerjaan rumah atau kegiatan ekstra kurikuler yang kemudian diteruskan sebagai sumbangan bahan bacaan di perpustakaan pedesaan.
Pendeknya, banyak cara untuk berusaha menghimpun bahan bacaan yang dapat dimanfaatkan oleh perputakaan pedesaan dan berbagai daerah hunian yang oleh satu dan lain sebab agak terbelakang pendidikannuya. Kehadiran perpustakaan di kawasan demikian itu niscaya besar dampaknya yang bersifat edukatif. Dengan prakarsa tersebut makin meningkatlah perebaran perpustakaan sebagai pusat pembelajaran dan sekaligus efektif berperan sebagai agen perubahan, terutama di kawasan pemukiman yang relatif tertinggal dalam usaha peningkatan kecerdasan serta perbaikan perikehidupan warganya.

Peningkatan Sarana Prasarana Pendidikan di Badung

Merujuk MOU Antara Pusat dengan Gubernur Bali dan Bupati Kabupaten/Kota Pelaksanaan peningkatan sarana

prasarana pendidikan pada semua jenjang pendidikan seperti pembangunan sekolah baru, penambahan ruang kelas,

rehabilitasi gedung sekolah, pembangunan laboratorium, perpustakaan, pembangunan tembok penyengker,

padmasana, pengadaan meubelair dan pengadaan penunjang pengembangan billingual sekolah standar nasional (SSN)

dan dana pendamping sekolah negeri maupun swasta merujuk kepada MOU antara pemerintah pusat dengan Gubernur

Bali dan Bupati Kabupaten/Kota se-Bali, No. 425/3038/SEKRET/425.11/2853/DISDIK tanggal 26 April 2006. Demikian

jawaban Pemerintah Kab. Badung terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi DPRD Badung yang disampaikan Bupati

Badung AA Gde Agung, pada Sidang Paripurna di Ruang Sidang Utama Ghosana DPRD Badung, Rabu (10/9). Rapat

dipimpin Wakil Ketua DPRD Tama Tenaya, dihadiri Ketua DPRD Badung I Gde Adnyana, Wakil Ketua I Gst.Karmadhi,

anggota DPRD Badung, Sekda Badung Wayan Subawa serta seluruh pejabat di lingkungan Pemkab. Badung.

Bupati menjelaskan, untuk tahun 2008 baik pada anggaran induk maupun anggaran perubahan telah dialokasikan dana

sebesar Rp. 41.363.928.290 berdasarkan keputusan Gubernur Bali No. 818/03-A/HK/2008 Pemprov. Bali memberikan

bantuan keuangan yang bersifat khusus bidang pendidikan kepada Kab. Badung sebesar Rp. 9.338.549.000 yang

diterima 6 Agustus 2008 peruntukannya ditetapkan untuk sarana prasana pendidikan antara lain rehab gedung,

meubelair, laboratorium dan perpustakaan. Mengenai kajian pendirian SMPN 4 Petang, Bupati Gde Agung

mengungkapkan adanya upaya pemerintah untuk memenuhi kewajiban pemerintah daerah dalam memberikan akses

pendidikan yang seluas-luasnya kepada masyarakat, khususnya masyarakat Carangsari, sekaligus merespon keinginan

masyarakat yang belum terpenuhi, maka didirikan SMPN 4 Petang yang berlokasi di Carangsari. Dikatakan juga

mengenai pendirian Puskesmas Pembantu di Belok Sidan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di bidang

kesehatan, sudah diakomodir dalam rencana kerja pemerintah daerah tahun 2009 dan menjadi prioritas APBD 2009.

Demikian juga dalam menurunkan angka kerusakan infrastruktur di Kab. Badung akan terus diupayakan dengan

memprioritaskan infrastruktur yang ada di kawasan-kawasan pariwisata, dengan tidak mengesampingkan peningkatan

infrastruktur di wilayah pedesaan, termasuk jalan-jalan lingkungan yang akan ditindak lanjuti secara bertahap sesuai

kemampuan APBD. Dalam urusan sosial Gde Agung mengungkapkan bahwa Pemkab. Badung telah melakukan

terobosan untuk program pengentasan kemiskinan melalui kegiatan lintas sektoral yang melibatkan satuan kerja

perangkat daerah dan seluruh lapisan masyarakat seperti kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) fakir miskin, yang

sampai saat ini telah terbentuk sebanyak 15 KUBE masing-masing akan di bantu sebanyak 10 ekor sapi, bantuan

permodalan untuk Usaha Kecil dan Mikro (UKM) sebesar Rp.350 Juta dan bantuan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

(LUEP) sebesar Rp. 500 Juta. Disebutkan juga dalam hal meningkatkan ketahanan pangan menuju pembangunan

agrobisnis dan agrowisata, Pemkab. Badung melakukan beberapa program diantaranya pendidikan SLPTT (Sekolah

Lapang Pengendalian Hama Terpadu), SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Tepadu), Sekolah Lapang Hemat

Air, dan Pembinaan Metode SRI (System Of Rice Intensification) serta Program bantuan di bidang infrastruktur seperti

jaringan irigasi tingkat usaha tani, jaringan irigasi tingkat desa, jalan usaha tani dan bantuan balai subak. Mengenai

subsidi harga pupuk, Pemkab. Badung telah memberi bantuan berupa subsidi harga pupuk dan obat-obatan sehingga

masyarakat dapat terangsang untuk berusaha di bidang pertanian. Subsidi pupuk baik urea maupun ponska sudah

dilaksanakan untuk 3 komoditi diantaranya padi, jagung, kedelai dan palawija lainnya, yang penyalurannya melalui pipa

tertutup dengan mekanisme pencairan mengajukan rencana difinitif kebutuhan kelompok bagi semua jenis tanaman di

sawah yang diprogramkan oleh petani

DKI Akan Rehabilitasi 65 Persen Gedung Sekolah

JAKARTA, SELASA — Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan merehabilitasi 321 gedung sekolah SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN. Jumlah ini jauh dari yang diusulkan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta kepada DPRD.

Dalam jumpa pers di balai kota, Selasa (3/2), Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Pemprov DKI Jakarta Didi Sugandi mengatakan, ke-321 gedung sekolah ini terbagi dalam 3 tipe rehabilitasi. Yakni rehab total sebanyak 19 sekolah, rehab sedang 10 sekolah, dan rehab berat 229 sekolah.

"Data rekapitulasi gedung sekolah yang diusulkan sebesar 497 gedung, 321 gedung dikerjakan tahun ini dan sisanya 179 gedung sekolah belum masuk target rehab tahun ini," katanya. Pada rehab total realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 233 miliar dan rehab berat sebanyak Rp 348 miliar, sementara Didi tidak merinci besaran untuk rehabilitasi sedang.

Adapun kriteria sebuah sekolah masuk rehab total adalah umur bangunan lebih dari 30 tahun, tingkat kerusakan lebih dari 65 persen, tidak memilik ruang penunjang serta konstruksi belum standar, masih menggunakan bahan kayu yang sudah rapuh, dan konstruksi bangunan tidak dapat dipertahankan.

Untuk jenis rehabilitasi berat, kriterianya mencakup tingkat kerusakan di atas 45-65 persen dan tidak rawan banjir setiap musim hujan. Adapun untuk rehab sedang, tingkat kerusakan hanya berada pada kisaran 20-45 persen, atap menggunakan baja ringan dan dalam kondisi baik serta pada umumnya kerusakan hanya di pintu dan jendela.

Ujang Arifin, Kepala Sekretariat Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang ikut mendampingi Didi menjelaskan bahwa gedung sekolah yang ada pada saat ini 46,60 persen di antaranya belum dilengkapi sarana penunjang pendidikan. Padahal, ketentuan sarana penunjang sudah diatur Permendiknas No 24/2008.

"Permendiknas mengatur standar sarana prasarana sebuah gedung sekolah yang di dalamnya memuat 7 ruang sarana penunjang. Kenyataan di lapangan, 820 gedung belum dilengkapi sarana penunjang," ujarnya. Jumlah tersebut, diungkapkan Ujang, terdiri dari 660 SDN, 105 SMPN, 28 SMAN, dan 16 SMKN.

Kondisi di lapangan juga memberikan kenyataan bahwa 18 persen gedung dalam kondisi ambruk, 22, 2 persen kondisi rusak berat, dan 13 persen kondisi rusak sedang.

PENILAIAN BELAJAR BERBASIS KELAS

27 06 2008

Kesadaran para ahli pendidikan terhadap rendahnya penguasaan materi dan rendahnya skor hasil tes mendorong terjadinya reformasi dalam pembelajaran. Selain itu, bagaimana anak belajar dan perkembangan teori belajar ikut mendorong reformasi pembelajaran. Reformasi pembelajaran juga diikuti dengan reformasi dalam penilaian belajar.

Reformasi pembelajaran dan penilaian belajar saat ini adalah munculnya gagasan untuk memperbaharui kurikulum.

Kurikulum berbasis kompetensi (kurikulum 2004) mempromosikan bahwa belajar adalah proses membangun kecakapan hidup dan menjalankan kehidupan secara utuh, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan hidup sosial, kecakapan berpikir kritis, kecakapan melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah (kecakapan akademik) dan kecakapan vokasional (Depdiknas, 2002), sedangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan menekankan pada adanya otonomi pembelajaran dan menetapkan capaian hasil belajar yang lengkap dan komprehensif. Reformasi kurikulum diimplementasikan dengan diterapkannya strategi pembelajaran baru, yaitu pembelajaran konstruktivis yang kontekstual (pembelajaran kontekstual) dan penilaian belajar baru yaitu penilaian yang bersifat otentik (authentic assessment) (Pusat Kurikulum, 2001 dan Depdiknas, 2002 b) yang juga disebut dengan penilaian berbasis kelas.

Pembelajaran Kontekstual

Sistem pendidikan dengan “kurikulum berbasis kompetensi” menggunakan paradigma baru yaitu belajar berbasis kompetensi (competence – based learning). Berbeda dengan paradigma lama, pada paradigma lama siswa belajar hanya tentang pengetahuan (sebagai produk ilmu pengetahuan), pada paradigma baru siswa belajar untuk memperoleh kompetensi berupa kecakapan hidup secara menyeluruh yang meliputi : kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan

berpikir rasional, kecakapan menggunakan dan melakukan penyelidikan ilmiah dan kecakapan olah kompetensi.

Kompetensi kecakapan hidup dan menjalankan kehidupan dapat dicapai jika pembelajaran yang diterapkan membawa siswa untuk belajar sesuai dengan pengalaman nyata dan dalam konteks dunia nyata. Pembelajaran yang mempunyai konsep seperti itu disebut “pembelajaran kontekstual”. Suyanto (2002) dalam makalahnya dinyatakan prinsip-prinsip pembelajaran konstekstual adalah : pada pembelajaran perlu ditekankan pentingnya pemecahan masalah, kegiatan belajar dilakukan pada berbagai konteks, siswa belajar sendiri (Student active learning), mencakup konteks siswa yang berbeda-beda (multiculture education), siswa belajar dari sesama / bersama teman (cooperative learning), pada pembelajaran ditekankan adanya latihan berpikir tingkat tinggi, yaitu aplikatif kritis dan kreatif (discovery – inquiry) dan pembelajaran menggunakan strategi penilaian otentik (authentic assessment).

Penilaian Otentik

Penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada situasi atau konteks “dunia nyata”, yang memerlukan berbagai macam pendekatan untuk memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa satu masalah bisa mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Dengan kata lain, assessment otentik memonitor dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi dalam situasi atau konteks dunia nyata. Dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur, memonitor dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran, maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses pembelajaran didalam kelas maupun diluar kelas. Penilaian otentik juga disebut dengan penilaian alternatif. Pelaksanaan penilaian otentik tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multiple-choice, matching, true-false, dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performasi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian ini dapat berupa : a) tes yang menghadirkan benda atau kejadian asli ke hadapan siswa (hands-on penilaian), b) tugas (tugas ketrampilan, tugas investigasi sederhana dan tugas investigasi terintegrasi), c) format rekaman kegiatan belajar siswa (misalnya : portfolio, interview, daftar cek, presentasi oral dan debat).

Beberapa pembaharuan yang tampak pada penilaian otentik adalah : a) melibatkan siswa dalam tugas yang penting, menarik, berfaedah dan relevan dengan kehidupan nyata siswa, b) tampak dan terasa sebagai kegiatan belajar, bukan tes tradisional, c) melibatkan ketrampilan berpikir tingkat tinggi dan mencakup pengetahuan yang luas, d) menyadarkan siswa tentang apa yang harus dikerjakannya akan dinilai, e) merupakan alat penilaian dengan latar standar (standard setting), bukan alat penilaian yang distandarisasikan, f) berpusat pada siswa (student centered) bukan berpusat pada guru (teacher centered), dan g) dapat menilai siswa yang berbeda kemampuan, gaya belajar dan latar belakang kulturalnya.

Penilaian Alternatif dalam Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian terhadap siswa tidak hanya mencakup penilaian perubahan atau perkembangan perilaku belajar setelah siswa menempuh suatu pelajaran tertentu. Penilaian terhadap perubahan dan perkembangan diri siswa dalam proses pembelajaran seharusnya juga mencakup : kecakapan dan pengetahuan awal (prior knowledge), aktivitas dan kecakapan yang tampak pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung di kelas, dan aktivitas pengetahuan / kecakapan siswa yang dilaksanakan dan diperoleh di luar kelas atau di lingkungan hidup sehari-hari.

Format penilaian alternatif berupa “portfolio, presentasi oral dan debat, laporan tertulis dan interview” dan penjelasannya sebagai berikut. “Portfolio” adalah format penilaian belajar berupa catatan atau bukti mengenai ketrampilan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki atau diperoleh siswa dalam proses belajar. Portfolio dapat berisi : hasil tes, laporan praktikum, laporan tugas diluar

kelas, hasil pekerjaan dari tugas-tugas di kelas dan di rumah, catatan hasil kegiatan mandiri yang terkait dengan bahan pelajaran di sekolah. Portofolio sangat berguna bagi guru karena tidak semua assessment dapat dilakukan dan hasilnya tidak dapat diadministrasikan secara langsung oleh guru. Portfolio dapat dibuat oleh guru untuk setiap individu atau kelompok siswa. Disamping itu guru juga dapat meminta kepada siswa untuk membuat portfolio untuk kegiatan dan hasil kegiatan yang dilakukan sendiri baik kegiatan yang ada di dalam kelas maupun kegiatan yang ada di luar kelas. Hal ini dimaksudkan dengan portofolio guru dapat meniali kegiatan, pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman siswa baik yang teramati sendiri maupun tidak, baik terhadap kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas, karena portofolio berguna untuk memonitor dan menilai ketrampilan, pengalaman, dan pengetahuan siswa pada unit-unit pembelajaran satu konsep, setengah semester, satu semester atau satu tahun.

Format yang berikutnya adalah “presentasi oral dan debat” adalah format penilaian untuk memonitor dan menilai ketrampilan atau kecakapan siswa dalam mengkomunikasikan pengetahuan dan pengalaman belajarnya secara lisan. Dalam mengkomunikasikan secara lisan sebaiknya dilakukan seseorang siswa atau sekelompok siswa kepada teman sekelas. Agar terjadi interaksi antar siswa, presentasi oral perlu disertai dengan debat atau tanya jawab antara penyaji dengan siswa lain. Dalam presentasi oral dan debat guru dapat menilai ketrampilan berbicara, penguasaan konsep atas materi yang disajikan, ketrampilan logika dan ketrampilan menjawab pertanyaan, ketrampilan menerima pendapat orang lain.

Selain format portofolio dan format presentasi oral, format berikutnya adalah “laporan tertulis” yaitu laporan yang dibuat oleh siswa secara tertulis mengenai ketrampilan, pengelaman dan pengetahuan setelah menyelesaikan tugas tertentu. Penilaian terhadap laporan tertulis dapat meliputi kebenaran penguasaan konsep, kebenaran / ketepatan prosedur pelaksanaan tugas, kebenaran prosedur penulisan laporan, kebenaran penulisan data dan analisis data serta kebenaran penarikan kesimpulan, sedangkan format yang terakhir adalah “interview” yaitu penilaian terhadap ketrampilan, pengalaman dan pengetahuan siswa melalui wawancara. Kegiatan wawancara dapat dilakukan oleh guru, juga dapat dilakukan

oleh siswa sebaya. Melalui wawancara guru dapat mengetahui tingkat keaktifan, kecakapan dan kebenaran penguasaan konsep siswa terhadap materi pelajaran tertentu.

Kesimpulan

Pesan yang harus diperhatikan dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah bahwa pembelajaran bukan lagi hanya sebatas pembelajaran pengetahuan, melainkan pembelajaran mengenai kecakapan untuk memecahkan masalah­masalah hidup, dengan ranah-ranah kecakapan pribadi, hidup sosial, berpikir kritis, dan kecakapan olah ketrampilan. Disamping itu orientasi pembelajaran pada kurikulum berbasis kompetensi adalah pembelajaran kontekstual. Implikasi dari perubahan-perubahan orientasi pendidikan dan pembelajaran adalah pola penilaian pembelajaran. Pola penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah penilaian berbasis kelas atau penilaian otentik.

Hal-hal yang terkait dengan penerapan penilaian otentik atau penilaian berbasis kelas adalah : 1) penilaian belajar tidak dapat hanya dilaksanakan secara eksidental (tes sumatif, ujian akhir) tetapi perlu dilaksanakan secara terus-menerus di dalam proses pembelajaran, dan 2) penilaian belahar tidak hanya mencakup konsep esensial materi pelajaran menurut ahlinya, tetapi juga melibatkan konsep esensial sesuai dengan konteks dunia nyata siswa.

Diperbarui dari: Sutansi

Daftar Rujukan

Depdiknas, 2002, Konsep Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education) Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Kelas (Broad-Based Education) : Bahan Workshop Sosialisasi Program Pendidikan Menengah Umum Tahun 2002.

Suyanto, 2003. Skenario Pembelajaran : Makalah Disajikan Dalam Semlok Pembelajaran Kontekstual Bagi Guru Pamong Dan Dosen Pembimbing PPL Universitas Negeri Malang : Tanggal 23 – 24 Juni 2003 Di UPT PPL Universitas Negeri Malang. Malang : UPT PPL Universitas Negeri Malang.


sumber :google

http://istpi.wordpress.com/2008/06/27/penilaian-belajar-berbasis-kelas/

Senin, 16 Maret 2009

Sistem evaluasi formal dan nonformal terhadap pengajar di Jepang


Sistem Evaluasi adalah sistem yang menjadi mutlak dalam proses belajar mengajar. Guru mengevaluasi kemampuan siswa adalah hal yang sudah biasa, tetapi siswa yang menilai pengajaran guru barangkali masih langka di negara kita.

Selama menjadi pengajar part time di sebuah lembaga bahasa yang cukup bonafid dengan cabang yang hampir ada di seluruh dunia, saya sudah 3 kali mendapatkan evaluasi. Saya memulai karir di sana dengan kritikan cara mengajar, disiplin waktu, dll yang kadang-kadang membuat saya ingin berhenti saja. Atasan saya kadang-kadang menempatkan saya di ruang bervideo dan mengamati cara mengajar. Tindakan ini semula menyakitkan tapi lama-lama saya bisa menerimanya dengan lapang dada, kritikannya cukup membangun. Siswa biasanya mengisi lembaran evaluasi yang tidak ditunjukkan kepada pengajar. Hasil total evaluasi dalam bentuk persentase hanya disampaikan kepada atasan secara langsung kepada pengajar. Berdasarkan hasil evaluasi yang diberikan oleh siswa dan atasan, maka jumlah jam dan kepercayaan untuk mengampu kelas akan ditentukan.

Saya juga mengajar di sebuah lembaga bahasa kecil dengan manajer yang sudah seperti bapak sendiri. Semula hanya satu siswa yang saya pegang yang kemudian bertambah menjadi dua, dan selanjutnya semakin bertambah. Saya senang mengajar mereka, dan saya lebih-lebih menjadi senang ketika mereka bersemangat dan senang belajar bahasa Indonesia. Banyak yang menjadi murid saya dalam jangka waktu yang lama. Kadang-kadang saya khawatir mereka menjadi bosan, tapi kelihatannya tidak,sebab mereka minta diajar setiap minggu. Penilaian di lembaga ini tidak berlangsung secara resmi, tetapi manajer biasanya menanyakan secara basa-basi kepada siswa dalam obrolan biasa tentang kelas yang diberikan oleh seorang pengajar.Dari situ biasanya manajer secara obrolan biasa juga menyampaikan kepada pengajar hasil penilaian siswa, misalnya : kelas anda menarik, atau karena banyak percakapan, murid-murid sangat senang. Tetapi kadang-kadang pula langsung memuji dan ujung-ujungnya biasanya mempercayakan setiap ada murid baru.

Di semua universitas di Jepang telah diberlakukan sistem evaluasi terhadap dosen yang dilakukan oleh mahasiswa. Sistem evaluasi ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki pengajaran, tetapi kadang-kadang mahasiswa mengisinya dengan malas atau sangat dipengaruhi oleh senang tidaknya dia dengan pelajaran bersangkutan.

Ada 4 poin utama yang dinilai yaitu :

  1. Partisipasi/Kehadiran/Keaktifan siswa dalam kuliah bersangkutan (ada 3 poin yang ditanyakan)
  2. Tentang perkuliahan secara umum (ada 4 poin)
  3. Tentang pengelolaan kelas, misalnya ketepatan waktu, keseriusan guru menegur siswa yang terlambat atau melakukan kejahilan di kelas, dll (ada 7 poin)
  4. Penilaian secara umum (4 poin).

Dan ada kolom khusus untuk memberikan tanggapan bebas kepada dosen pengajar.

Hasil evaluasi seperti ini sangat bermanfaat bagi para pengajar. Saya biasanya memberikan lembaran khusus kepada mahasiswa untuk menulis apa saja tentang kelas yang saya pegang, sebab saya pikir akan lebih mudah mengetahui keinginan siswa dalam bentuk uraian daripada sekedar angka yang berupa persentasi.

Tetapi selain bentuk formal seperti itu, pernyataan langsung mahasiswa misalnya “kuliah Ibu menarik dan membuat saya ingin mengambilnya lagi semester depan” adalah juga bentuk evaluasi yang jujur.

DAFTAR PUSTAKA

http://indosdm.com/sistem-evaluasi-formal-dan-nonformal-terhadap-pengajar-di-jepang

TEKNIK MENYUSUN ALAT EVALUASI BELAJAR MATA

1. EVALUASI HASIL BELAJAR

Mengukur :

Membandingkan sesuatu dengan satu ukuran

[kuantitatif] - mengetahui keadaan suatu hal menurut apa adanya

yang biasanya dinyatakan dalam bilangan.

• Menilai :

Keputusan terhadap sesuatu ukuran “baik – buruk”

[kualitatif] – pemberian makna dari hasil pengukuran dengan suatu

acuan yang relevan – sehingga diperoleh hasil kualitas.

Evaluasi hasil belajar adalah Langkah mengukur dan menilai.

Evaluasi pengajaran – penaksiran atau penilaian terhadap

pertumbuhan dan perkembangan mahasiswa yang didasarkan pada

tujuan yang telah ditetapkan di dalam kurikulum.

2. TUJUAN EVALUASI

• Mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian

tujuan instruksional peserta didik sehingga dapat diupayakan tindak

lanjutnya.

• Mendiskripsikan kecakapan belajar mahasiswa.

Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran.

• Menentukan tindak lanjut hasil penilaian – melakukan perbaikan

program.

• Memberikan pertanggungjawab.

1

Makalah disampaikan pada Acara Pembinaan Guru Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah

Perguruan 6 Tahun: Tsanawiyah dan Aliyah, pada Sabtu, 26 September 1998.

2

Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

1


3. FUNGSI EVALUASI

1. Mengetahui kemajuan, perkembangan, keberhasilan siswa

2. Mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran

3. Beperluan Bimbingan dan Penyuluhan

4. Pengembangan, perbaikan kurikulum

4. MACAM-MACAM BENTUK SOAL

1. SOAL ESSAY [Tes Uraian]

Secara umum test essay [tea uraian] adalah pertanyaan yang menuntut

siswa menjawab dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan,

membandingkan, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenis sesuai

dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa

sensiri.

Maka dalam test dituntut kemampuan siswa untuk menggeneralisasikan gagasannya memalului bahasan tulisan [Nana Sujana,

1992:35], sehingga tipe essay test lebih bersifat power test. Bentuk essay test

[uraian] dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Pertanyaan bebas

Bentuk pertanyaan diarahkan pada pertanyaan bebas dan jawaban testee

tidak dibatasi, tergantung pada pandangan testee.

b. Pertanyaan terbatas

Pertanyaan pada hal-hal tertentu atau ada pembatan tertentu.

Pembatasan dapat dilihat dari segi: [1] ruang lingkupnya, [2] sudut

pandang jawabannya, dan [3] indikatornya.

c. Pertanyaan terstruktur

Merupakan bentuk antara soal-soal objektif dan essay. Soal dalam bentuk

ini merupakan serangkaian jawaban singkat sekalipun bersifat terbuka

dan bebas jawabannya.

2


2. SOAL OBJEKTIF

Test ini lebih baru dari test essay, tetapi test ini banyak digunakan dalam

menilai hasil belajar disekolah-sekolah. Hal ini disebabkan antara lain karena

luasnya bahan pelajaran yang dapat dicapai dalam test dan mudahnya menilai

jawaban testee. Test ini dikategori selalu menghasilkan nilai yang sama

meskipun yang menilai guru yang berbeda atau guru yang sama pada waktu

yang berbeda. Test objektif lebih dikategori pada speed tests.

a. Tru-false [benar-salah]

Pertanyaannya, berupa kalimat-kalimat pertanyaan yang mengandung dua

kemungkinan benar-salah. Tentu siswa diminta untuk menentukan kaliman

yang mana yang dianggap benar dan salah.

b. Matching-test [menjodohkan]

Test menjodohkan, test ini terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama

berisi kata-kata pertanyaan, di mana kata-kata ini memiliki jodoh atau

pasangan pada kelompok kedua.

Tugas teste [yang ditest] ialah

menjodohkan masing-masing kata atau pertanyaan tersebut dari kelompok

satu dan kelompok ke dua.

c. Fill-in test [test isian]

Test isian, test testee diminta untuk mengisi kalimat yang masih kosong.

Kadang-kadang berupa cerita, bagian yang penting dihilangkan. Testee

diminta untuk mengisi bagian yang kosong tersebut. Misalnya, Pada

tanggal ……….. republik Indonesia menyatakan kemerdekaan. Jawaban :

Benar – Salah.

d. Multiple choice [pilihan ganda]

Test pilihan ganda, test ini untuk setiap pertanyaan disediakan 3,4,5

alternatif jawaban. Untuk itu siswa [testee] diminta memilih satu jawaban

yang paling benar dari alternatif jawaban tersebut. Misalnya: Pendiri

Organisasi Muhammadiyah adalah : [a] KH. Ahmad Dahlan, [b] KH.

Muhammad Mansur, [c] KH. A. Azhar Basyir, [d] KH. AR. Fachrudin.

Persoalan yang dihadapiu pembuat soal pilihan ganda adalah untuk

menyediakan sejumlah jawaban yang baik memang sukar, antara lain jangan

sampai jawaban yang benar itu begitu menyolok, sehingga siswa cenderung

mudah menebak untuk memilih jawaban tersebut. Selain itu, juga membuat

“pengecoh” soal sehingga tidak mudah ditebak oleh siswa. Maka untuk

3


menghindari itu sebaiknya jawaban sedikitnya antara 4 atau 5 dan jawaban

masing pertanyaan hendaknya dibuat variasi

dan jangan konstan

jawabannya.

1.

Kelebihan dan Kelemahan Test Essay

5. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEST

a. Kebaikan

1] Menyusun soal sangat mudah

2] Siswa [testee] bebas menjawab

3] Siswa [testee] melatih mengemukakan gagasan

4] Lebih ekonomis

b. Kelemahan

1] Kurang efektif untuk materi yang scopnya luas

2] Jawabannya hetrogen menyulitkan tester

3] Baik-buruk tulisan, panjang pendek, tidak sama jawaban

menimbulan evaluasi dan penskoran kurang objektif

4] Salah pengertian dalam memahami soal test

5] Koreksi memerlukan waktu dan ketelitian.

2. Kelebihan dan Kelemahan Test Objektif

a. Kebaikan

1] Menilai bahan pelajaran scopnya luas

2] Jawaban bebas terpimpin

3] Dinilai secara objektif

4] Pemeriksaan mudah, dan cepat.

b. Kekurangan

1] Kurang memberi kesempatan menyatakan gagasan

2] Testee mencoba-coba, spikulasi

3] Memerlukan ketelitian, waktu cukup lama

4] Kurang ekonomimum langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam

menyusun alat evaluasi hasil belajar adalah:

4


6. LANGKAH PENYUSUNAN [PENULISAN] ALAT EHB

1. Tentukan TIU dan TIK

Dalam program pengajaran tentu TIU dan TIK yang menjadi sasaran dari

hasil belajar. Maka langkah-langkah menyusun soal adalah:

a. Soal disesuaikan TIU – TIK yang telah ditentukan.

b. Memperhatikan aspek kognitif, afektif, psikomotorik

c. Tentukan abiliti yang diukur atau soal mampu mengungkap

kemampuan dalam abiliti tersebut.

d. Tentukan materi yang akan ditanyakan dan tuangkan dalam bentuk

kisi-kisi soal.

2. Prinsip dasar EHB

a. Hasil sesuai dengan tiu–tik

b. Mengukur sampel representatif

c. Mencakup bermacam bentuk soal

d. Memperbaiki cara belajar- mengajar

e. Didisain untuk memperoleh hasil yang diinginkan

f. Reliabel dan valid

g. Kemampuan diskriminatif

h. Objektif dan praktis

3. Menentukan Kisi-kisi Soal

Untuk menjaga agar soal test yang kita susun tidak menyimpang dari

bahan [materi] serta aspek yang akan diungkapkan dalam test, buatlah

sebuah table spesifikasi atau kisi-kisi. Kisi-kisi soal adalah sebuah table

yang memuat perincian materi dan tingkah laku beserta imbangan atau

proporsi yang dihendaki oleh penilai atau guru. Dalam kisi-kisi akan

dicantumkan bahan pengajaran yang hendak diukur, jenis kompetensi yang

akan diukur, jumlah soal, bentuk soal, taraf kesukaran maupun waktu yang

cocok untuk melakukan ujian. Contoh: table spesisifikasi [kisi-kisi] yang

dimulai dari pengisian sel-sel baru kemudian diperoleh jumlah soal tiap

pokok materi. Tabel yang ditampilkan di bawah ini, adalah [1] contoh table

spesifikasi penyusunan soal Mata Pelajaran Al-Islam yang sudah terisi

dengan butir soal. [2] Table Spesifikasi [kisi-kisi] Penyusunan Soal

Pelajaran Al-Islam yang menggunakan model pengisian sel-sel terlebih

dahulu .

DAFTAR BACAAN

M. Ngalim Purwanto, 1991, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Nana Sudjana, 1992, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Nasrun Harahap, dkk., 1982, Teknik Penilaian Hasil Belajar, Bulan Bintang, Jakarta.

Suharsimi Arikunto, 1986, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Bina Aksara.

Suke Silverius, 1991, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta.